3/28/2013

Hari  demi hari aku jalani dengan mencoba sebuah pertanyaan "Salahkah aku menerima cinta Jo?" seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Aku merasa begitu nyaman bersamanya, tapi di sisi lain hati ini masih belum seutuhnya terlepas dari cengkraman Radit (mantanku). Entah darimana, tapi aku pernah mendengar sebuah kalimat "Cinta datang karena terbiasa" mungkin ini bisa menjadi salah satu alasan menerima Jo. Sebuah problematika yang aku jalani kali ini lebih membingungkan dari biasanya, ketika tadi aku percaya diri melangkah dibawah kalimat "Cinta datang karena terbiasa, tiba-tiba seseorang di televisi yang berpakaian rapih, rambut seperti profesor, diakhir kalimat selalu bicara "Itu!" dan pembawa acara menjawab "Super sekali!" berkata "Cintailah aku sepenuhnya atau tidak sama sekali". JLEB. Seketika aku berpikir, bagaimana berada di posisi Jo. Akkhhhh semua ini terlambat.

Sebenarnya hidup ini lebih rumit dirangkai dari puzzle manapun yang pernah ada, lebih sulit ditebak ketimbang skor sebuah pertandingan sepak bola, dan masalah yang ada, lebih kompleks daripada senyawa kimia kompleks manapun. Akhirnya aku lebih memilih mencoba melanjutkan "kesalahan" yang telah dilakukan. Terlihat berpura-pura mencintai Jo. Memang, aku merasa nyaman dengannya, tapi sebuah sekat seperti memagari apa yang aku lakukan, jujur. Aku lebih menyukai saat kami berteman, hanya, saat seseorang mengungkapkan perasaan kepada sang pujaan, hanya ada dua pilihan "semakin dekat" atau "semakin jauh" dan aku tak ingin dia menjauh, walau harus aku melakukan kebohongan. Aku egois? memang, aku tak mau dia menjauh hanya karena tahu, apa yang aku rasakan sebatas teman, dan dia merasakan kita bisa menjadi pasangan tak bisa bersatu. Sebuah ungkapan "Mencintai tanpa dicintai" hanya ada di negeri dongeng, semua orang ingin cinta dibalas cinta, suka dibalas suka, dan sayang dibalas sayang.

Aku ini memang munafik, setiap hari aku berkata ingin melupakannya, tapi masih saja setiap malam memandangi barang pemberiannya, fotonya, malah sebelum tidur aku putar lagu yang bisa mengingatkanku dengan dirinya. Inilah yang dirasakan wanita dengan berjuta kebodohannya. Padahal jelas-jelas di depanku ada lelaki baik hati membawa cinta sepenuh hati, namun masih aku memikirkan, malahan menggantungkan harapan pada lelaki yang pernah melukai.

Mulai aku berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya pada Jo, tapi itu semua hanya sebatas keluar dari mulut yang sebenarnya tertutup. Memang sifat dasar wanita "Labil"

Dalam hati selalu terjadi pertentangan menarik setiap harinya di dalam batin, "haruskah aku mempertahankan, atau memperjuangkan? haruskah aku menarik ulur masa lalu daripada menyongsong kehidupan baru? haruskah aku meninggalkan orang yang baru kumiliki demi orang yang dulu pernah melukai?" pertanyaan yang mudah sekali dijawab, tapi sulit untuk dilakukan.

Akhirnya aku mencoba tegas dalam bertindak, rela membuang hal yang berkaitan dengan Radit, mulai dari beberapa chat masa lalu yang sebenarnya penuh dengan kenangan, foto saat kita bersama, barang pemberiannya, sampai-sampai lagu yang memiliki kenangan ataupun mengingatkanku pada Radit, aku delete .kejam? bukan kejam, hanya bertidak TEGAS. Mulai aku merefresh pikiran-pikiran mengganggu tentang yang pernah kulakukan dengan Radit, menggantinya dengan hal menyenangkan bersama Jo. Awalnya ini memang sulit, tapi aku terus mencoba hingga akhirnya terbiasa dan lupa.

Say Hi to Jo and Thanks to Radit.

Kamu bukan tidak bisa melupakannya, hanya belum mau melepasnya. Karena sebaik-baiknya move on adalah mencoba mencari penggantinya, bukan caranya.

Ambigu Part III

Hari  demi hari aku jalani dengan mencoba sebuah pertanyaan "Salahkah aku menerima cinta Jo?" seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Aku merasa begitu nyaman bersamanya, tapi di sisi lain hati ini masih belum seutuhnya terlepas dari cengkraman Radit (mantanku). Entah darimana, tapi aku pernah mendengar sebuah kalimat "Cinta datang karena terbiasa" mungkin ini bisa menjadi salah satu alasan menerima Jo. Sebuah problematika yang aku jalani kali ini lebih membingungkan dari biasanya, ketika tadi aku percaya diri melangkah dibawah kalimat "Cinta datang karena terbiasa, tiba-tiba seseorang di televisi yang berpakaian rapih, rambut seperti profesor, diakhir kalimat selalu bicara "Itu!" dan pembawa acara menjawab "Super sekali!" berkata "Cintailah aku sepenuhnya atau tidak sama sekali". JLEB. Seketika aku berpikir, bagaimana berada di posisi Jo. Akkhhhh semua ini terlambat.

Sebenarnya hidup ini lebih rumit dirangkai dari puzzle manapun yang pernah ada, lebih sulit ditebak ketimbang skor sebuah pertandingan sepak bola, dan masalah yang ada, lebih kompleks daripada senyawa kimia kompleks manapun. Akhirnya aku lebih memilih mencoba melanjutkan "kesalahan" yang telah dilakukan. Terlihat berpura-pura mencintai Jo. Memang, aku merasa nyaman dengannya, tapi sebuah sekat seperti memagari apa yang aku lakukan, jujur. Aku lebih menyukai saat kami berteman, hanya, saat seseorang mengungkapkan perasaan kepada sang pujaan, hanya ada dua pilihan "semakin dekat" atau "semakin jauh" dan aku tak ingin dia menjauh, walau harus aku melakukan kebohongan. Aku egois? memang, aku tak mau dia menjauh hanya karena tahu, apa yang aku rasakan sebatas teman, dan dia merasakan kita bisa menjadi pasangan tak bisa bersatu. Sebuah ungkapan "Mencintai tanpa dicintai" hanya ada di negeri dongeng, semua orang ingin cinta dibalas cinta, suka dibalas suka, dan sayang dibalas sayang.

Aku ini memang munafik, setiap hari aku berkata ingin melupakannya, tapi masih saja setiap malam memandangi barang pemberiannya, fotonya, malah sebelum tidur aku putar lagu yang bisa mengingatkanku dengan dirinya. Inilah yang dirasakan wanita dengan berjuta kebodohannya. Padahal jelas-jelas di depanku ada lelaki baik hati membawa cinta sepenuh hati, namun masih aku memikirkan, malahan menggantungkan harapan pada lelaki yang pernah melukai.

Mulai aku berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya pada Jo, tapi itu semua hanya sebatas keluar dari mulut yang sebenarnya tertutup. Memang sifat dasar wanita "Labil"

Dalam hati selalu terjadi pertentangan menarik setiap harinya di dalam batin, "haruskah aku mempertahankan, atau memperjuangkan? haruskah aku menarik ulur masa lalu daripada menyongsong kehidupan baru? haruskah aku meninggalkan orang yang baru kumiliki demi orang yang dulu pernah melukai?" pertanyaan yang mudah sekali dijawab, tapi sulit untuk dilakukan.

Akhirnya aku mencoba tegas dalam bertindak, rela membuang hal yang berkaitan dengan Radit, mulai dari beberapa chat masa lalu yang sebenarnya penuh dengan kenangan, foto saat kita bersama, barang pemberiannya, sampai-sampai lagu yang memiliki kenangan ataupun mengingatkanku pada Radit, aku delete .kejam? bukan kejam, hanya bertidak TEGAS. Mulai aku merefresh pikiran-pikiran mengganggu tentang yang pernah kulakukan dengan Radit, menggantinya dengan hal menyenangkan bersama Jo. Awalnya ini memang sulit, tapi aku terus mencoba hingga akhirnya terbiasa dan lupa.

Say Hi to Jo and Thanks to Radit.

Kamu bukan tidak bisa melupakannya, hanya belum mau melepasnya. Karena sebaik-baiknya move on adalah mencoba mencari penggantinya, bukan caranya.

3/01/2013



Namaku Renata, 18 tahun. Murid pindahan dari Yogyakarta. Hidup memang sebuah pilihan yang membingungkan, termasuk pilihanku untuk pindah dari Yogyakarta ke Bandung. Sebenarnya ayah dan ibu menetap disana,aku hanya menumpang disini bersama paman dan tante. Faktor yang mendorong aku untuk pindah adalah banyaknya kenangan yang aku rasakan dengan seseorang yang disebut "mantan" mungkin ini alasan paling bodoh, tapi sebagian wanita mungkin pernah merasakan hal demikian. Tidak mudah bagiku melupakan orang yang dulu kuanggap jodoh yang diberikan Tuhan. Tidak mudah bagiku membuang apa yang sampai sekarang selalu aku kenang. Tidak mudah bagiku merelakan orang yang dulu selalu aku idam-idamkan, Ahh.. terlalu larut aku dalam sebuah kenangan.

Genap enam bulan aku hidup di Bandung, sesekali aku termenung mengingat dia yang pernah memberi bahagia sekaligus luka. Sebuah hadiah yang dulu kamu berikan terlihat rapi di samping ranjang yang aku gunakan, malah diam-diam aku masih menyimpan foto-foto saat kita masih saling mengindahkan, Spontan neuron-neuron dalam tubuh ini saling berkaitan, mengingatkan dulu yang pernah kita lakukan. Benar-benar membingungkan, sebuah alasan yang aku gunakan meninggalkan Yogyakarta malah aku bawa, malah semakin menggila aku dibuatnya. 

Mundur sekitar dua bulan ke belakang. Sesosok pria datang dalam hidup yang hampir aku buang, Yosua namanya, terdengar unik, sesuai dengan sifatnya yang menarik, mampu membuat bibir ini terusik dengan gerik yang cantik. Yaa. dia mampu membuatku tertawa, padahal belum satu minggu kita bertegur sapa, hanya dia sangat pandai memainkan kata, saat dia bercerita aku paling suka.

Singkat kata singkat cerita, Yosua mulai sering mengajak jalan, hanya berduaan. Aku rasa ini hanya sebatas perasaan biasa seorang teman, tak lebih dari demikian. Nyaman? ya, aku merasakan nyaman, nyaman dalam ikatan pertemanan, tak lebih. Banyak yang mengira kita pacaran, tak apalah aku anggap itu hanya celotehan biasa dari seorang biang gosip. Suatu ketika pernah dia memperlihatkan sebuah tulisan, indah sekali. Racikan kata yang puitis, dibumbui romantis, membuatku terhipnotis. Tampaknya jari-jari dia memang bisa menari dengan striptis yang menghasilkan manis.

Senja hari. Anak kecil berlari dengan wajah berseri, daun-daun terlihat menari diterpa angin sejuk yang datang sesekali. Sore ini aku diajak Yosua pergi ke taman. Seperti biasa, dia mulai bercerita dengan penuh suka cita lebih dari sekali, aku dibuatnya tertawa. Nyaman? Tentu nyaman, sebagai seorang teman dia memang tak bisa di duakan.

Hingga tiba-tiba cerita mu berhenti, sontak tawa yang tadi keluar dari bibir terbuka segera tertutup rapat. sangat rapat dari lem apapun yang pernah di dapat. Dia mulai berkata "kamu tau, segala hal yang kita rasakan lebih baik kita ungkapkan, walaupun itu menyenangkan atau menyakitkan" aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan, dia melanjutkan "Aku sayang kamu" Samar-samar aku mendengar, mata tak percaya telinga seolah tak menerka, tak disangka kamu berkata cinta. Sejenak aku berpikir, dikejar waktu yang terus menunggu, hingga mulutku mulai bergerak ragu "Jo.. Aku juga sayang kamu" terlihat wajah tegang darinya mulai mencair, sedangkan aku? aku malah membeku, entah yang aku katakan memang sebuah kenyataan atau alasan menutup sebuah kekecewaan yang mungkin akan dirasakan seorang teman. "Apakah aku benar-benar menyayanginya?" pertanyaan yang selalu terbayang dalam benak. Seolah aku hanya kasihan pada seorang teman. Ya, hanya kasihan.

Bersambung Ambigu PART III << 

Ambigu Part II



Namaku Renata, 18 tahun. Murid pindahan dari Yogyakarta. Hidup memang sebuah pilihan yang membingungkan, termasuk pilihanku untuk pindah dari Yogyakarta ke Bandung. Sebenarnya ayah dan ibu menetap disana,aku hanya menumpang disini bersama paman dan tante. Faktor yang mendorong aku untuk pindah adalah banyaknya kenangan yang aku rasakan dengan seseorang yang disebut "mantan" mungkin ini alasan paling bodoh, tapi sebagian wanita mungkin pernah merasakan hal demikian. Tidak mudah bagiku melupakan orang yang dulu kuanggap jodoh yang diberikan Tuhan. Tidak mudah bagiku membuang apa yang sampai sekarang selalu aku kenang. Tidak mudah bagiku merelakan orang yang dulu selalu aku idam-idamkan, Ahh.. terlalu larut aku dalam sebuah kenangan.

Genap enam bulan aku hidup di Bandung, sesekali aku termenung mengingat dia yang pernah memberi bahagia sekaligus luka. Sebuah hadiah yang dulu kamu berikan terlihat rapi di samping ranjang yang aku gunakan, malah diam-diam aku masih menyimpan foto-foto saat kita masih saling mengindahkan, Spontan neuron-neuron dalam tubuh ini saling berkaitan, mengingatkan dulu yang pernah kita lakukan. Benar-benar membingungkan, sebuah alasan yang aku gunakan meninggalkan Yogyakarta malah aku bawa, malah semakin menggila aku dibuatnya. 

Mundur sekitar dua bulan ke belakang. Sesosok pria datang dalam hidup yang hampir aku buang, Yosua namanya, terdengar unik, sesuai dengan sifatnya yang menarik, mampu membuat bibir ini terusik dengan gerik yang cantik. Yaa. dia mampu membuatku tertawa, padahal belum satu minggu kita bertegur sapa, hanya dia sangat pandai memainkan kata, saat dia bercerita aku paling suka.

Singkat kata singkat cerita, Yosua mulai sering mengajak jalan, hanya berduaan. Aku rasa ini hanya sebatas perasaan biasa seorang teman, tak lebih dari demikian. Nyaman? ya, aku merasakan nyaman, nyaman dalam ikatan pertemanan, tak lebih. Banyak yang mengira kita pacaran, tak apalah aku anggap itu hanya celotehan biasa dari seorang biang gosip. Suatu ketika pernah dia memperlihatkan sebuah tulisan, indah sekali. Racikan kata yang puitis, dibumbui romantis, membuatku terhipnotis. Tampaknya jari-jari dia memang bisa menari dengan striptis yang menghasilkan manis.

Senja hari. Anak kecil berlari dengan wajah berseri, daun-daun terlihat menari diterpa angin sejuk yang datang sesekali. Sore ini aku diajak Yosua pergi ke taman. Seperti biasa, dia mulai bercerita dengan penuh suka cita lebih dari sekali, aku dibuatnya tertawa. Nyaman? Tentu nyaman, sebagai seorang teman dia memang tak bisa di duakan.

Hingga tiba-tiba cerita mu berhenti, sontak tawa yang tadi keluar dari bibir terbuka segera tertutup rapat. sangat rapat dari lem apapun yang pernah di dapat. Dia mulai berkata "kamu tau, segala hal yang kita rasakan lebih baik kita ungkapkan, walaupun itu menyenangkan atau menyakitkan" aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan, dia melanjutkan "Aku sayang kamu" Samar-samar aku mendengar, mata tak percaya telinga seolah tak menerka, tak disangka kamu berkata cinta. Sejenak aku berpikir, dikejar waktu yang terus menunggu, hingga mulutku mulai bergerak ragu "Jo.. Aku juga sayang kamu" terlihat wajah tegang darinya mulai mencair, sedangkan aku? aku malah membeku, entah yang aku katakan memang sebuah kenyataan atau alasan menutup sebuah kekecewaan yang mungkin akan dirasakan seorang teman. "Apakah aku benar-benar menyayanginya?" pertanyaan yang selalu terbayang dalam benak. Seolah aku hanya kasihan pada seorang teman. Ya, hanya kasihan.

Bersambung Ambigu PART III <<