2/17/2013

Surat Seorang Anak


Ayah, Ibu terimakasih.
Memberi aku sebuah kasih, tanpa memilih. Ayah mengajarkan bagaimana menjadi seorang yang gagah, walau terkadang aku lebih sering terlihat lemah. Tapi tak apa. seolah itu semua bukan masalah bagi ayah yang tak kenal lelah. Ibu, malaikat yang diturunkan untuk menjagaku, berlebihan? tak apa. Itu yang kurasa. Suatu ketika aku terjatuh dan menangis, akibat kesalahanku yang lari saat hendak Ibu beri sesuap nasi. Aku marah, padahal sudah jelas aku yang salah. Tapi kasih ibu tak pernah kalah, hanya karena melihatku marah. Senyum selalu yang terpancar dari bibir Ibu, walau dibalik itu ada rasa pilu melihat sikapku yang tak mau menurutimu. Memang ibu seorang malaikat yang selalu menjagaku. Lebih dari itu, tak mau marah dihadapanku.

Ayah pintar sekali memberi sebuah pepatah. 
Apa yang ayah berikan, lebih dari ujaran, ungkapan, pernyataan. Melainkan panduan, dalam melakukan sebuah perbuatan. Namun terkadang aku meragukan apa yang ayah berikan, seenaknya aku bergumam "Ayah tidak mengerti" ataupun "zaman dulu dan zaman sekarang itu berbeda"  menggerutu dan meremehkan perkataan ayah, padahal itu berujung sebuah penyesalan.
Sampai aku guratkan tinta hitam pada secarik kertas hari ini, semakin ku dapati. Sebenarnya perbuatan ayah bersifat menguatkan. Kadang itu perkataan, bentakan, tatapan. Itu semua demi aku yang lemah, jauh dari kata gagah seperti ayah. Maafkanlah.



Ibu terkadang memilih bersandiwara.
Pintar sekali Ibu melakukan ini. Terlihat kenyang padahal merasa lapar, hanya demi aku. Orang yang sering menyusahkan. Ibu sering memilih merasa getir, daripada melihatku khawatir. Memiliki kepekaan tinggi terhadap hal yang tersirat walaupun tak tersurat, Ibu jutaan kali lebih hebat dari pacarmu dalam hal tersebut. Tanpa mengucap "aku lapar" ibu sudah menyiapkan makanan di meja makan, setiap pagi. Yang selalu aku ingat. Sebanyak samudera air mata yang tumpah dari kelopak mataku, sebanyak itu pula ibu mengusapnya. Sungguh. Selama apapun aku memilih mainan, selama itu pula ibu menunggu dengan sesekali melontarkan senyuman. 
Suatu malam gelap aku melihat, ibu masih memakai mukena dan memegang al qur'an, binar-binar matanya menusuk hatiku "ibu kenapa?" setengah mengantuk dan sedih, dengan suara perlahan. pelan sekali. "sebentar lagi kamu kuliah" hanya itu. Ibu tak kuasa lagi menahan beratnya tekanan. Dalam kelopak mata. Memelukku erat sambil menangis, di malam itu. Akupun ikut larut, tak kurasa satu persatu akhirnya menjadi beribu. Air jatuh yang mewakili rasa yang tak mampu berucap, jangankan berucap. Menatap pun tak mampu. Dekapan Ibu lebih kurang mewakilkan apa yang hendak dia ucapkan "sebentar lagi kamu kuliah, ayah dan ibu hanya berdua disini. kesepian demi kamu, yang siap menyongsong masa depan." arrgghhhh. IBUUUUUU.

Ayah, Ibu maafkan.
Sering aku mengabaikan apa yang seharusnya aku lakukan, melawan apa yang tak seharusnya kulakukan. Semuanya mengecewakan, Bagi kalian... Penyesalan. Itu yang jelas tergambar dalam benak pikiran. Maafkan. Aku cinta kalian, dengan segala kekurangan. Sekali lagi. Maafkan, aku dengan segala kekurangan.  Maafkan. Maafkan. Maafkan.
This entry was posted in :

3 komentar:

  1. Kesuksesan kita raih dr doa org tua, tanpa kasih & cinta mereka kita bukanlah apa2, keep writing bro~

    BalasHapus
  2. Waahh. doakan a hehe

    BalasHapus